Minggu, 04 November 2012

Kasus Minyak Tumpah Montara, Indonesia Dapat Dana CSR 5 Juta Dolar AS



Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan, tim negosiasi Indonesia dan kilang Montara milik PT TEP Australia menyepakati adanya dana bantuan tanggung jawab sosial (corporate social responbility/CSR) senilai lima juta dolar.
"Mereka sebelumnya mengajukan tiga juta dolar AS, tetapi dalam pertemuan ke-7 hari ini (11/3). Dana ini di luar tuntutan total klaim 2,4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp23 triliun ke mereka," katanya kepada pers di Jakarta, Jumat.
Dana bantuan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat korban pencemaran lingkungan di Nusa Tenggara Timur akibat ledakan kilang itu pada Agustus 2009. Menhub Freddy mengatakan, setelah pertemuan ini, kedua pihak akan menyusun draf Nota Kesepahaman dan diharapkan pada akhir Maret selesai disepakati kedua pihak dan awal April menandatanganinya.
"MoU itu akan memuat klausul lengkap terkait klaim ganti rugi yang kita ajukan. Waktu pembayaran dan sebagainya agar masalah pencemaran laut Timor ini tuntas dan tidak menjadi preseden buruk ke depan. Klaim diharapkan pembayarannya sudah bisa dimulai Juni," katanya.
Ditanya bagaimana seandainya Montara tidak mematuhi sesuai kesepakatan dalam MoU tersebut, Freddy menegaskan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah langkah hukum. "Apa langkahnya, nanti saja," katanya.
Menurut Freddy, kalau PT TEP menginginkan untuk pakai formula ganti rugi, pemerintah mempersilahkan hal tersebut apabila itu dianggap cepat menyelesaikan masalah. "Kita kan minta 15 tahun tapi kalau mereka minta cepat, misalnya 10 tahun, silahkan saja, yang penting jelas verifikasinya. Jadi bisa cepat putuskan ganti rugi secara menyeluruh berapa," katanya.
Data yang dihimpun menyebutkan, telah terjadi pencemaran, petani rumput laut di Rote Ndao dapat memproduksi 7.334 ton rumput luat kering per tahun. Pada 2009, atau setelah pencemaran terjadi, produksi turun hingga 1.512 ton. Bahkan, hingga Juni 2010, produksi rumput laut kering di Rote baru mencapai 341,4 ton.
Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, hasil perhitungan nilai potensi kerugian sosial ekonomi tersebut menjadi dasar kebijakan untuk tuntutan ganti rugi kepada pihak Australia. Hasil perhitungan kerugian tersebut terdiri dari potensi kerugian total (total lost value) yakni Rp247 miliar dan kerugian langsung (direct lost value) yang mencapai Rp42 miliar.
Kerugian total merupakan perhitungan berbagai aspek seperti biofisik, psikologi dan sosial ekonomi dari nelayan setempat, sedangkan kerugian langsung adalah penghitungan berdasarkan aspek riil yang seharusnya didapat oleh nelayan dari perairan tersebut.
.
Sumber : Republika – Jakarta, Jumat 11 Oktober 2011http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/11/168847-kasus-minyak-tumpah-montara-indonesia-dapat-dana-csr-5-juta-dolar-as

Program Corporate Social Responsibility yang Berkelanjutan



Pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dunia usaha berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut triple bottom line. Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
          Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor dunia usaha sebagai akibat liberalisasi ekonomi, berbagai kalangan swasta, organisasi masyarakat, dan dunia pendidikan berupaya merumuskan dan mempromosikan tanggung jawab sosial sektor usaha dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan.
          Namun saat ini – saat perubahan sedang melanda dunia – kalangan usaha juga tengah dihimpit oleh berbagai tekanan, mulai dari kepentingan untuk meningkatkan daya saing, tuntutan untuk menerapkan corporate governance, hingga masalah kepentingan stakeholder yang makin meningkat. Oleh karena itu, dunia usaha perlu mencari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusa haan yang mampu bersaing.
          Upaya tersebut secara umum dapat disebut sebagai corporate social responsibility atau corporate citizenship dan dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.
          Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan; serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
Implementasi konsep sustainable development dalam Program CSR
          Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (cost center). CSR memang tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Dengan demikian apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan perusahaan akan terjamin dengan baik. Oleh karena itu, program-program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.
          Dengan masuknya program CSR sebagai bagian dari strategi bisnis, maka akan dengan mudah bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu perusahaan untuk mengimplementasi kan rencana kegiatan dari program CSR yang dirancangnya. Dilihat dari sisi pertanggung jawaban keuangan atas setiap investasi yang dikeluarkan dari program CSR menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga pada akhirnya keberlanjutan yang diharapkan akan dapat terimplementasi berdasarkan harapan semua stakeholder.
Mengapa Program CSR harus Sustainable.
          Pada saat ini telah banyak perusahaan di Indonesia, khususnya perusahaan besar yang telah melakukan berbagai bentuk kegiatan CSR, apakah itu dalam bentuk community development, charity, atau kegiatan-kegiatan philanthropy. Timbul pertanyaan apakah yang menjadi perbandingan/perbedaan antara program community development, philanthropy, dan CSR  dan mana yang dapat menunjang berkelanjutan (sustainable)?
          Tidak mudah memang untuk memberikan jawaban yang tegas terhadap pertanyaan diatas, namun penulis beranggapan bahwa “CSR is the ultimate level towards sustainability of development”. Umumnya kegiatan-kegiatan community development, charity maupun philanthropy yang saat ini mulai berkembang di bumi. Indonesia masih merupakan kegiatan yang bersifat pengabdian kepada masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh dari lokasi tempat dunia usaha melakukan kegiatannya. Dan sering kali kegiatannya belum dikaitkan dengan tiga elemen yang menjadi kunci dari pembangunan berkelanjutan tersebut. Namun hal ini adalah langkah awal positif yang perlu dikembangkan dan diperluas hingga benar-benar dapat dijadikan kegiatan Corporate Social Responsibility yang benar-benar sustainable.
          Selain itu program CSR baru dapat menjadi berkelanjutan apabila, program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias dari karyawan akan menjadikan program-program tersebut bagaikan program penebusan dosa dari pemegang saham belaka. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program-program tersebut akan memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.
          Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain, yaitu: pengembangan bioenergi, melalui kegiatan penciptaan Desa Mandiri Energi yang merupakan cikal bakal dari pembentukan eco-village di masa mendatang bagi Indonesia.
          Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut.
          Program CSR tidak selalu merupakan promosi perusahaan yang terselubung, bila ada iklan atau kegiatan PR mengenai program CSR yang dilakukan satu perusahaan, itu merupakan himbauan kepada dunia usaha secara umum bahwa kegiatan tersebut merupakan keharusan/tanggung jawab bagi setiap pengusaha. Sehingga dapat memberikan pancingan kepada pengusaha lain untuk dapat berbuat hal yang sama bagi kepentingan masyarakat luas, agar pembangunan berkelanjutan dapat terealisasi dengan baik. Karena untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan mandiri semua dunia usaha harus secara bersama mendukung kegiatan yang terkait hal tersebut. Dimana pada akhirnya dunia usaha pun akan menikmati keberlanjutan dan kelangsungan usahanya dengan baik.
Manfaat dari program CSR bagi perusahaan di Indonesia
          Memang pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi suatu keharusan yang umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2008 mendatang akan diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.
          CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation) – konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.
          Sekali lagi untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan program CSR, diperlukannya komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap program-program CSR. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa datang.
           Perusahaaan perlu bertanggung jawab bahwa di masa mendatang tetap ada manusia di muka bumi ini, sehingga dunia tetap harus menjadi manusiawi, untuk menjamin keberlangsungan kehidupan kini dan di hari esok.

Sumber : Majalah Lensa ETF, edisi 1 Nov 2006, Eka Tcipta Foundation

IFRS Sebagai Standar Tunggal Pelaporan Keuangan



International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar, interpretasi, dan kerangka yang diadopsi oleh badan penyusun standar akuntansi internasional yang dikenal dengan International Accounting Standards Board (IASB).
Beberapa standar yang membentuk IFRS dulunya dikenal dengan nama International Accounting Standards (IAS). IAS diterbitkan oleh suatu badan yang dikenal dengan International Accounting Standards Committee (IASC) pada kurun waktu antara tahun 1973-2001. Hingga Maret 2002, IASC telah menerbitkan 41 IAS dan 34 SIC (Standing Interpretations Committee) Interpretations. Beberapa di antaranya telah diubah atau diganti oleh IASB. Standar yang masih tersisa dipandang sebagai payung bagi IFRS.
Sepanjang tahun 1999-2000, IASC melakukan restrukturisasi (dengan mengubah konstitusi, strategi, struktur dan nama). IASC berkeinginan untuk menjadi badan akuntansi yang lebih independen dan profesional. Pada Maret 2001, IASC Trustees mengaktifkan Part B dari IASC Constitution yang baru dan menetapkan non-profit Delaware corporation yang diberi nama International Accounting Standards Committee Foundation untuk mengawasi IASB. Pada April 2001, IASB yang baru mengambil alih tanggung jawab IASC dalam menetapkan International Accounting Standards.
IASB berkeinginan untuk membentuk satu standar pelaporan keuangan global yang berkualitas. Selama pertemuan pertamanya, badan yang baru tersebut mengadopsi IAS dan SIC (Standing Interpretation Committee) yang ada. IASB terus mengembangkan standar yang disebut dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Jadi IFRS adalah termasuk standar dan interpretasi yang disetujui oleh IASB serta IAS dan SIC Interpretations yang diterbitkan berdasarkan konstitusi sebelumnya.
IFRS terdiri dari:
.International Financial Reporting Standards (IFRS) – standard yang diterbitkan setelah 2001
.International Accounting Standards (IAS) – standard yang diterbitkan sebelum 2001
.Interpretasi yang berasal dari the International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) – diterbitkan setelah 2001
.Standing Interpretations Committee (SIC) – diterbitkan sebelum 2001

Prinsip-prinsip yang mendasari IFRS dijelaskan dalam Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan)
IFRS merupakan kesepakatan global standar akuntansi yang didukung lebih dari 100 negara dan badan-badan internasional di dunia. Globalisasi aktivitas ekonomi mengharuskan informasi keuangan berkualitas tinggi dan dapat diperbandingkan secara internasional.
Efektif sejak 1 Januari 2005, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di 15 negara Uni Eropa diharuskan untuk menyajikan laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS (sejak tahun 2003, standar-standar yang baru disebut sebagai IFRS). Hal ini merupakan perubahan terbesar di Eropa dalam beberapa dekade terakhir ini yang mempengaruhi lebih dari 7.000 perusahaan di Uni Eropa yang akan menyusun laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS. Dibandingkan pada tahun 2001, hanya 275 perusahaan di Uni Eropa yang menggunakan IAS dalam penyusunan laporan keuangannya dan 300 perusahaan menggunakan US GAAP.
Sejak tahun 1994, profesi akuntansi di Indonesia, melalui Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), telah berkomitmen untuk melakukan harmonisasi terhadap IFRS. Sejak itu, sebagian besar PSAK yang diterbitkan didasarkan pada IFRS. Jadi, pada dasarnya IFRS telah mempengaruhi dunia usaha di Indonesia sejak 1994.
Pada akhir tahun 2008, IAI telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh pada tahun 2012. Selain itu, pada tahun 2009, negara-negara anggota G-20 telah membuat kesepakatan di Pittsburg, Amerika Serikat yang di antaranya menyatakan bahwa untuk mengurangi kesenjangan peraturan di antara negara-negara anggota G-20, maka otoritas yang mengawasi peraturan akuntansi internasional harus meningkatkan standar global pada Juni 2011. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota G-20 tunduk pada kesepakatan global untuk melakukan konvergensi IFRS.
Oleh karena itu, mulai tahun 2009, DSAK-IAI mencanangkan proses konvergensi sampai tahun 2011 dengan target pada tahun 2012, seluruh PSAK tidak memiliki beda material dengan IFRS yang berlaku per 1 Januari 2009. Dan setelah tahun 2012, DSAK-IAI akan terus memperbaharui PSAK jika ada perubahan pada IFRS yang terkait.
Principles Based
IFRS merupakan seperangkat standar yang “berdasarkan prinsip” (principles based) yang menetapkan aturan umum dan menentukan peraturan khusus. Sedangkan US GAAP merupakan standar yang “berdasarkan aturan” (rule based atau regulation based). IFRS menitikberatkan pada prinsip yang dijelaskan dalam kerangka konseptual IASB, bukan pada aturan yang terinci. Berbeda dengan US GAAP, yang pada umumnya memuat persyaratan-persyaratan lebih khusus dan pedoman impelementasi yang rinci.
Pendekatan IASB yang memfokuskan pada prinsip tersebut mengharuskan perusahaan dan auditor untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk kepentingan publik. Perusahaan harus menyajikan laporan keuangan yang menyajikan dengan sebenarnya (faithful representation) seluruh transaksi yang terjadi. Auditor juga harus resisten terhadap tekanan klien.
Pelaporan keuangan yang didasarkan pada US GAAP, sebagian besar juga didasarkan pada prinsip, namun disertai dengan aturan dan regulasi yang rinci. Oleh karena itu, US GAAP disebut sebagai standar yang “berdasarkan aturan” (rule based). US GAAP menetapkan persyaratan-persyaratan yang lebih khusus dan memberikan pedoman implementasi yang lebih rinci. Pedoman rinci ini menguntungkan perusahaan, auditor, dan regulator pasar modal. Bagi perusahaan, pedoman rinci akan mengurangi ketidakpastian dalam memperlakukan suatu transaksi. Bagi auditor, persyaratan-persyaratan khusus akan membatasi perselisihan dengan klien dan merupakan pembelaan jika terjadi proses pengadilan. Regulator menggunakan pedoman rinci sebagai alat untuk menegakkan peraturan.
Karena fokus pada prinsip ini, maka pihak-pihak yang meyakini keunggulan US GAAP berpendapat bahwa penerapan IFRS memerlukan terlalu banyak interpretasi. Sebaliknya, pendukung IFRS berpendapat bahwa banyaknya pedoman yang dikeluarkan FASB juga tidak mampu mencegah Enron dalam menghindari aturan akuntansi. Enron adalah perusahaan yang mendirikan entitas bertujuan khusus (special purpose entity) yang tidak dikonsolidasikan dalam laporan keuangan (Enron menggunakan US GAAP). Kegagalan untuk mengkonsolidasikan entitas tersebut diyakini sebagai isu terpenting dalam penyajian kembali laporan keuangan Enron.
Standar akuntansi yang berkualitas sangat diperlukan untuk membantu pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber dayanya. Alokasi sumber daya sangat tergantung pada informasi keuangan yang mempunyai kredibilitas tinggi dan dapat dipahami. Standar akuntansi harus mampu menyakinkan investor bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan menunjukkan gambaran kinerja dan posisi perusahaan yang sebenarnya. Skandal Enron mengindikasikan perlunya reformasi sistem pelaporan keuangan secara global.
Adopsi IAS atau IFRS tersebut tentunya akan berdampak pada pelaporan keuangan khususnya berkaitan dengan pengakuan dan pengukuran, serta berkaitan dengan konsolidasi dan pelaporan. Salah satu perubahan pengakuan dan pengukuran yang utama adalah semakin luasnya penggunaan prinsip nilai wajar (fair value) dibandingkan dengan biaya historis. Nilai wajar adalah harga yang akan diterima atas penjualan suatu aset atau harga yang akan dibayar atas pengalihan liabilitas (kewajiban) dalam suatu transaksi antar partisipan pasar pada saat tanggal pengukuran. Jadi, konsep nilai wajar menitikberatkan pada arus kas kini dan arus kas yang diekspektasikan. Konsep nilai wajar tidak menekankan pada harga beli historis. Misalnya, amortisasi goodwill dievaluasi setiap periode berdasarkan arus kas yang didiskontokan (discounted cash flows).
Adopsi IFRS akan berdampak pada perubahan pelaporan keuangan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia akan mengubah format laporan keuangannya, dan investor akan melihat perubahan tersebut. Demikian juga dengan merger dan akuisisi, kebijakan pajak, dan perencanaan keuangan juga akan terpengaruh.
Dengan tambahan margin penjualan listrik subsidi dari lima persen menjadi delapan persen, laba bersih PT PLN tahun 2010 bisa melesat jauh melampaui tahun 2009. Namun meningkatnya beban bunga, berkurangnya untung dari selisih kurs, serta beban lain-lain menyebabkan laba bersih PLN tergerus hingga 2,5%. Jika tahun 2009 laba bersih yang dibukukan sebesar Rp 10,355 triliun, laba tahun 2010 mentok di angka 10,086 triliun.
Toh situasi tersebut, ditambah iklim kerja yang berkembang makin baik, telah memacu seluruh jajaran PLN untuk bekerja makin keras dan profesional. Maka wajar saja jika kemudian Dahlan Iskan memanfaatkan momentum itu untuk mengubah tagline PT PLN. Semula tagline yang sudah dipakai bertahun-tahun adalah Electricity for a Better life, Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Dahlan menggantinya dengan semboyan baru Bekerja Bekerja Bekerja!
Slogan yang digagas Dahlan tersebut mampu meneguhkan fokus pada orientasi perusahaan, bahwa tugas utama sebagai korporasi adalah bekerja untuk melayani.
Di tengah semangat tinggi seluruh jajaran PLN untuk unjuk kerja itulah Dahlan Iskan harus pergi. Maka ketika para calon menteri menebar senyum setelah dipanggil Presiden, Pak Dis ?begitu ia suka dipanggil, akronim dari Dahlan Iskan- justru menangis. “Saya menangis karena harus meninggalkan teman-teman di PLN yang sedang semangat-semangatnya bekerja,” ucapnya.
Harapan Presiden, juga publik dan stakeholders BUMN, agar semangat serupa bisa ditularkan kepada BUMN yang lain. Dahlan tidak mengusung slogan dan konsep besar yang hanya menarik di meja diskusi. Dia mengajak semua orang untuk menyederhanakan persoalan dan bekerja untuk mengatasinya.

Sumber : http://www.bumn.go.id/ptpn5/galeri/ifrs-sebagi-standar-tunggal-pelaporan-keuangan/

Kejahatan Perbankan Terjadi Karena GCG Lemah



Bank Indonesia (BI) menilai kasus kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia karena lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG) di bank tersebut.

Hal ini ditunjukkan dengan lemahnya pengawasan internal bank dan pengawasan dari manajemen tertinggi (top management) bank.

"Kasus opersional yang terjadi di indonesia, dari pemeriksaan BI, kelemahannya adalah top management dalam melakukan review secaraa berkala terhadap kebijakan SOP dan pengendalian internal," ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah dalam seminar "Good Coorporate Governance di Perbankan," di Ballroom Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (23/6).

Ditambahkan oleh Halim, kurang optimalnya pengawasan ini dibarengi adanya kelemahan implementasi kebijakan sistem dan prosedur serta Sumber Daya Manusia yang kurang menjalankan prinsip Know Your Employee. Menyangkut pengendalian internal, meskipun sistem aktif sudah berjalann tapi pelaksanaan hal-hal mendasar belum dilakukan secara reguler.

"Juga pejabat bank dapat memodifikasi data nasabah tanpa diketahui oleh nasabah atau pimpinan bank sehingga terjadi penarikan tanpa diketahui," jelas Halim.

Apalagi banyak bank yang menganggap GCG lebih sebagai biaya dan menghambat ekspansi usahanya. Padahal penerapan GCG yang terdiri dari lima unsur, yakni: Integritas, akuntanbilitas, independensi, kewajaran dan tanggungjawab ini sangat mutlak diperlukan, terutama oleh perbankan yang mrp bisnis berbasis kepercayaan masyarakat.

"Tanpa itu industri bank tidak dapat berjalan dengan sehat," tuturnya.

Halim mencontohkan kasus fraud yang terjadi di Indonesia mirip dengan kasus fraud terkenal seperti Barings Bank di Singapura. Kasus Barings Bank itu terjadi karena tidak adanya pembagian tanggung jawab yang merata lemahnya pengawasan internal dan kurangnya pengawasan top manajemen.

"Kalau mengikuti kasus yang terjadi di Singapura, kasus tersebut juga terjadi di Indonesia. Di Indonesia sedikit banyak yang terjadi adalah belum dilakukannya pelaksanaannya SOP dan pengawasan internal secara baik," ujar Halim.

Atas kasus kejahatan perbankan yang akhir-akhir ini terjadi, Halim mengungkapkan BI akan terus bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mempertinggi pelaksanaan GCG. Di samping langkah penyemperunaan, kasus yang terjadi juga merupakan suatu kesempatan bagi BI untuk melakukan introspeksi.

"Akan semakin kami tingkatkan ke arah yang lebih berbasis risiko, kepatuhan, fungsional, terutama pada risko operasioanl kegiatan yang berisiko tinggi," ujarnya.

Selain itu, BI sedang meninjau kembali aturan kepemilikan bank. Pasalnya, BI menilai kepemilikan bank ini berpengaruh pada prinsip-prinsip prudential.

"Kami mendorong bank untuk go public. Sehingga menerapkan GCG yang baik memiliki alasan dan kekuatan yang berkesinambungan," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Indonesia (Perbanas) Sigit Pramono mengungkapkan kasus kejahatan perbankan terjadi karena keterlibatan orang dalam, untuk itu GCG harus diperhatikan.

"Yang harus kita waspadai bahwa di dalam kejahatan perbankan, sindikat begitu tekun membina orang dari dalam bank. Dua tiga tahun mereka bina. Tiga tahun baru minta pertolongan," ujarnya.

Selain itu, sindikat sangat pandai memainkan sisi psikologis yang melibatkan orang dalam.

Seperti diketahui, kejahatan perbankan yang baru-baru saja terjadi di Citibank dan Bank Mega terjadi karena terlalu besarnya kewenangan yang dilakukan oleh seorang pejabat bank, seperti yang dilakukan Relationship Manager Citibank dan Kepala Cabang Bank Mega di Jababeka. Mereka menjadi dalang pembobolan dana nasabahnya hingga ratusan miliar.

Karena itu, peran BI sebagai pengawas perbankan sangat penting. Juga kalangan perbankan khususnya top management harus memperbaiki implementasi dari GCG. Ia menekankan pentingnya integritas dalam penerapan GCG ini untuk mengantisipasi fraud yang melibatkan orang dalam bank. Ia menekankan adanya pengawasan ketat(waskat) dari top management untuk mengantisipasi terjadinya fraud ini.

"Tidak mungkin zero fraud. Yang bisa kita lakukan adalah mitigasi sehingga fraud berkurang dengan waskat, pengawasan melekat," tukasnya.
(*/OL-3)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/22/236319/20/2/-Kejahatan-Perbankan-Terjadi-karena-GCG-Lemah

Pengertian Good Coorporate Governance



Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadbury, misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report – mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadbury, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, Manajer, Pemagang Saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.

Centre for European Policy Studies (CEPS), punya foormula lain. GCG papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholder, bukan terbatas kepada shareholder saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholder secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholder menerima informasi yang diperlukan seputar kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaaan istilah. Kelompk negara maju (OECD), misalnya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggungjawab kepada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder lainnya. Karena itu fokus utama disini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu accountability, transparency, predictability dan participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut, GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang, tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definsi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai ‘pengaturan’. Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut ‘tata pamong’ atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dalam terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia yang benar.
Kemudian, GCG ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance atau GCG merupakan :
Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan Komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan para stakeholder lainnya.
Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengandalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
Suatu prose yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Sumber : Mas Achmad Daniri sebagaimana dikutip oleh Wilson Arafat.
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1194:pengertian-good-corporate-governance-gcg&catid=68:good-corporate-governance&Itemid=101

Kamis, 05 April 2012

Opinion

The oil party is not over yet, next is energy security

Indonesia is rich in natural resources, but certainly not in oil. The nation’s oil production has been declining over the last decade.

In 2008, we could still produce 357.5 million barrel of oil a year, but last year we only produced 219 million barrels. (past ability)

It was a dramatic decline, but strangely, nobody seemed to care. Experts have estimated that since there won’t be any significant oil discoveries, our oil reserves would last until 2020, if the current rate of exploitation is maintained.

By that time, which is eight
years away, our oil needs would be met — if not entirely than most of it — by imports.

Further, it is getting more difficult to persuade oil companies to invest in exploration here. They are reluctant to come here. Not only are the prospective locations for exploration located in remote areas that need big investment with higher risks, but investors are also still facing all kind of political and legal uncertainties.

They are more reluctant to bet on finding oil in Indonesia. Most of the oil blocks offered by the government in recent years have not found investors.

Ironically, while our oil production is declining, our oil consumption keeps increasing. In 2009, we consumed 391 million barrels of oil. But last year our oil consumption ballooned to 451 million barrels.

Because production is no longer enough to fill our thirst for oil, no wonder then that our imports have been escalating recently. In 2010 our oil import bill was US$21.9 billion, but last year we had to spend $36.5 billion to import oil.

The question is how has our lavish oil consumption contributed to the economic well-being of the country and how efficient have we been using this oil.

To answer this question, we have to calculate how much 1 kilogram of oil equivalent used by Indonesia has translated into GDP. Let’s start by looking at how developed countries have used oil. Last year the US produced US$5.90 in terms of GDP per kilogram equivalent oil. Germany did better, producing $8.20.

However, according to the World Bank, in 2009 Indonesia produced $4.30. This compares with India ($5.10), Brazil ($7.60), Turkey ($8.70) and Malaysia ($5.20). Indonesia did slightly better than China, which produced $3.70.

From the above list it is clear that Indonesia ranks behind countries at a similar stage of economic development in the efficient use of oil. Even India, which has to pay twice as much for oil as we do, has been using oil more efficiently.

As we import more oil than we export, our oil trade deficit has been escalating, ballooning from $6 billion in 2010 to $16 billion last year. In balance of payments, our trade deficit has to be financed by capital inflows; otherwise our exchange reserve would fall.

As most of capital inflows are used to buy domestic debt instruments, this means our trade deficits are being financed by foreign debt. (repeated action in the past)

In 2011, our gas exports could still cover part of the deficit in the oil trade. (suggestion). But as our oil imports increased rapidly, funding the deficit needed foreign debt financing. Of course, there is nothing more sinister than the fact that we imported oil through foreign debt.

A country has several choices as to what it can do with natural resources that are getting scarcer. (ability / posibility). It could use the resources prudently, by taking into account the need for conservation, a measured rate of exploitation, environmental degradation and the need to minimize air pollution. (suggestion)

It could acknowledge scarcity by attaching a proper economic value and using its higher added value to finance vital projects to provide more employment and welfare to more people.

Or it could price its oil in a manner that would stimulate the development of alternative energy. In other words, its current energy policy should take into account the need for energy security in the future for its people.

Or it could simply squander the resources, by exploiting them fiercely and disregarding their economic value and pretending that they are free. It could consume the resources lavishly, pretending that its reserves will last forever.

Or it could — as a consequence of the vote by the House of Representatives last week against increasing fuel prices in April — throw away Rp 200 trillion ($22 billion) to be burned on the clogged streets all over the country, given as subsidy to the rich, received as windfall profits by smugglers and the oil mafia for keeping the oil trade flowing.

Every choice has its consequences, though, and people need to be aware of this.

The House had to listen to the voice of the people. But the important thing for the House was to make a rational and realistic decision. The problem is, the decision that had to be made was a political decision, and political decisions can hardly be based on rational and realistic economic considerations.

The people should be made aware of any consequences of the decision taken by their representatives. (90% certainly). This would include the waste and the loss of economic value and the loss of funds, which means a lost opportunity to finance improvements in many areas. (preference)

This includes the risk of broken infrastructure not being repaired, electricity blackouts and no improved access for the poor to better schools, healthcare and clean water, among other things.

Part of the fallout from the protracted and fierce debate on the fuel subsidy is that people have lost sight of the need to have a long-term view of energy policy.

The debate on the fuel subsidy has made everybody hostage to a short-term problem. So much energy and time has been wasted on this particular issue.

More important issues — such as energy security, the development of alternative energy, the fuel saving, and fuel conservation — have not been seriously looked at.




This Articel From thejakartapost.com

Sabtu, 17 Maret 2012

Explaining the normality of informal employment in Ukraine: a product of exit or exclusion?


Introduction
In recent decades, it has been widely recognized that informal employment is a sizeable and expanding sphere of the contemporary global economy (Charmes 2009; Feige and Urban 2008; ILO 2002a, 2002b; Jutting and Laiglesia 2009; Rodgers and Williams 2009; Schneider 2008). The result has been a refutation of the long-standing view that this realm is some minor residue or leftover from a previous era of production that is disappearing from view. Instead, there have emerged various competing perspectives that seek to explain the normality of informality. The aim of this article is to begin to evaluate critically the validity of these contrasting explanations.
To do this, the first section introduces the major schools of thought that seek to explain the normality of informality. These are firstly the structuralist school, which reads participation as driven by laborers' "exclusion" from state benefits and the circuits of the modern economy (Davis 2006; Gallin 2001; Hudson 2005; Sassen 1997) and secondly, several schools that explain participation as driven by the voluntary decision to "exit" the formal economy (Cross 2000; Gerxhani 2004; Maloney 2004; Perry and Maloney 2007; Snyder 2004). These include, on the one hand, a neo-liberal perspective that portrays informal workers as voluntarily opting to work in this manner due to the costs of working legitimately and, on the other hand, a poststructuralist school that again depicts informal employment as a choice but more driven by social and redistributive rationales than pure cost-benefit calculations. To evaluate critically the validity of these competing explanations, the second section then introduces a survey conducted in Ukraine during 2005/6 based on 600 face-to-face interviews. The third section reports the findings. This will not only display the normality of informality in contemporary Ukraine but also how participation is not the result of either exit or exclusion but instead, how some is conducted due to exit, some due to exclusion, and some for both reasons. (Hal ini tidak hanya menampilkan normalitas informalitas kontemporer di Ukraina tetapi juga bagaimana partisipasi yang baik bukanlah pengecualian atau keluar tetapi sebaliknya, bagaimana beberapa dilakukan karena untuk keluar, karena beberapa pengecualian, dan beberapa untuk kedua alasan.). The article thus concludes by calling for a move beyond the current either/or explanations and for a greater appreciation of how various explanations are more relevant in relation to different types of informal employment and population groups. (Artikel ini kemudian menyimpulkan dengan memberitahukan untuk bergerak baik saat ini / atau penjelasan dan untuk apresiasi yang lebih besar tentang bagaimana penjelasan -  penjelasan yang lebih relevan dalam kaitannya dengan berbagai jenis pekerjaan informal dan kelompok populasi).

At the outset, however, informal employment needs to be defined. Reflecting the strong consensus, informal employment here refers to paid work that is not declared to the authorities for tax, social security, and/or labor law purposes when it should be declared (European Commission 1998, 2007; OECD 2002; Renooy et al. 2004; Schneider 2008; Sepulveda and Syrett 2007; Williams 2004; Williams and Windebank 1998). This is the only difference between formal and informal employment. If the goods and/or services are illegal (such as drug-trafficking), for example, then this is "criminal" activity. If the activity is not remunerated, similarly, it is part of the unpaid informal economy. Of course, in practice, the boundaries sometimes blur. Those in informal employment and those engaged in criminal activities sometimes overlap and informal employment can be rewarded with gifts or in-kind rather than purely with monetary payments.
Explaining Informal Employment: A Product of Exit or Exclusion?
Throughout much of the 20th century, informal employment was commonly depicted as a leftover or residue from a previous era. As such, its continuing presence was seen to be a sign of "underdevelopment," "traditionalism," and "backwardness" whilst the formal economy represented "progress," "development," and "advancement" (Geertz 1963; Lewis 1959). Formal and informal employment were therefore temporally sequenced by viewing formal employment as in the ascendancy and informal employment as "the mere vestige of a disappearing past [or as] transitory or provisional" (Latouche 1993: 49). In recent decades, however, numerous studies have revealed not only that informal employment is extensive and persistent but also that it is growing relative to formal employment in many populations (Charmes 2009; Feige and Urban 2008; ILO 2002a, 2002b; OECD 2002; Schneider 2008; Schneider and Enste 2000).
The outcome is that various attempts have been made to explain the persistence and growth of this sphere. Until now, commentators have largely adopted one of two broad perspectives. Either they have adopted a structuralist perspective, which reads its persistence and growth as driven by laborers' "exclusion" from state benefits and the circuits of the modern economy, or adopted one of several schools that explain its continuation and expansion as driven more by a voluntary decision to "exit" the formal economy. Here, each is briefly reviewed in turn
Informal Employment: A Product of Exclusion
For a group of structuralist scholars, the contemporary prevalence and growth of informal employment is the outcome of the advent of a de-regulated open world economy and such work is characterized as unregulated work conducted under "sweatshop-like" conditions by marginalized populations excluded from the formal labor market who conduct such work out of necessity due to no other options being open to them (Amin et al. 2002; Castells and Portes 1989; Davis 2006; Gallin 2001; Hudson 2005; Portes 1994; Sassen 1997). As Fernandez-Kelly (2006: 18) puts it, "the informal economy is far from a vestige of earlier stages in economic development. Instead, informality is part and parcel of the processes of modernization." Indeed, for Davis (2006: 186) informal employment signifies the re-emergence of "primitive forms of exploitation that have been given new life by postmodern globalization."
Informal employment is therefore depicted to be at the bottom of a hierarchy of types of employment and akin to "downgraded labor" with its participants receiving few benefits, low wages, and with poor working conditions (Castells and Portes 1989; Gallin 2001; Portes 1994; Sassen 1997). On the one hand, informal employment is thus viewed to result from employers reducing costs, such as by subcontracting to businesses employing off-the-books workers under "sweatshop-like" conditions, as exemplified in the garment manufacturing sector (Bender 2004; Espenshade 2004; Hapke 2004; Ross 2004) but also by "false self-employment." On the other hand, informal employment is viewed to be a direct product of the demise of the intended full-employment/comprehensive formal welfare state regime characteristic of the Fordist and socialist era (Amin et al. 2002; Hudson 2005). In the new post-Fordist and post-socialist era, those of no use to capitalism are no longer maintained as a reserve army of labor and socially reproduced by the formal welfare state but, instead, are off-loaded, resulting in their increasing reliance on informal employment as a survival practice. Informal employment is thus extensive in marginalized populations where the formal economy is weak, since its role is to act as a substitute. It is undertaken by those involuntarily decanted into this realm and conducted out of necessity as a survival tactic (Amin et al. 2002; Castells and Portes 1989; Sassen 1997).
Informal Employment: An Exit Strategy
For others, informal employment is the result of a decision to voluntarily exit from the legitimate realm, rather than a product of involuntary exclusion (Cross 2000; Gerxhani 2004; Maloney 2004; Perry and Maloney 2007; Snyder 2004). As Gerxhani (2004: 274) puts it, workers "choose to participate in the informal economy because they find more autonomy, flexibility and freedom in this sector than in the formal one."
Conventionally, this has been usually advocated by neo-liberals who have depicted informal workers as heroes who are casting off the shackles of a burdensome state (Sauvy 1984; De Soto 1989). For them, over-regulation of the market is to blame for its existence (Minc 1982; Sauvy 1984; De Soto 1989). As De Soto (1989: 255) asserts, "the real problem is not so much informality as formality." Informal employment is the last bastion of untrammeled enterprise culture in an over-regulated economic system, and its recent growth evidence of the resurgence of the free market against state regulation. Informal employment, in consequence, is the people's "spontaneous and creative response to the state's incapacity to satisfy the basic needs of the impoverished masses" (De Soto 1989: xiv-xv). Such work is portrayed as undertaken largely by micro-entrepreneurs choosing to operate off-the-books in order to avoid the costs, time, and effort of formal registration and in preference to declared employment (Cross and Morales 2007; De Soto 1989, 2001; Perry and Maloney 2007; Small Business Council 2004).

                                                                                    http://findarticles.com/p/articles

“neither a Borrower Nor a Lender Be.”

In Shakespeare's play, Hamlet, Polonius counsels his hotheaded son, Laertes: "Neither a borrow nor a lender be, for loan oft loses both itself and friend, And borrowing dulls the edge of husbandry."  (In this context, "husbandry" means careful or thrifty management; frugality, or thrift.)
(Dalam bermain Shakespeare, Hamlet, Polonius menasihati anak pemarah, Laertes: "Baik yang meminjam maupun pemberi pinjaman sering kehilangan baik untuk sendiri maupun teman, Dan dulls meminjamkan tepi peternakan." (Dalam konteks ini, "peternakan" berarti manajemen harus hati-hati atau hemat;. Berhemat, atau bangkrut)
 It's interesting to note that "in the days when Hamlet was first staged (around 1600) borrowing was epidemic among the gentry, who sometimes neglected husbandry to the point where they were selling off their estates piece by piece to maintain an ostentatious lifestyle in London." (Shakespeare Quotes, enotes.com).
So, here we are, over 400 years later, dealing with the same issue here in America, that is, excessive borrowing.  When it comes to husbandry, it's pretty obvious that little has changed.  We have a profligate government and a spendthrift society, with growing numbers of people, businesses and government entities going broke.  
Several recent articles illustrate the situation:
A Wall Street Journal article about the state of New Jersey noted, "In 1990 the state was $3 billion in debt.  Borrowing has since grown at a compound annual rate of about 13%, and now the state is $32 billion in the red.  Throw in unfunded pensions and health benefits for retirees, and that number swells to $113 billion, or $3,400 for every man, woman and child in the state.  That's three times per capita higher than the national average, making New Jersey the nation's fourth-most indebted state." (Wall Street Journal, February 23, 2008, page A8)
In California, during a Senate Floor debate on the day the state budget was sent to the governor (August 27, 2007), State Senator Tom McClintock said, "Today we set in motion events that will require far more difficult and painful decisions starting just five months from now in what is likely to be a much worse economy.  I am afraid that with this vote, for the second time in a decade, this state is being driven to another Gray Davis-sized fiscal crisis that this vote makes inevitable for exactly the same reasons: Lack of restraint in good times combined with a lack of discipline in bad times." (NOTE: California's proposed 2008-09 fiscal year budget was recently reported to be $16 billion in the red.)
On the local level, the City of Vallejo, California, is on the verge of filing bankruptcy, the first city in the state's history to do so.  The City of San Diego is has approximately $1.9 billion in unfunded liability for its employee pension plan; Santa Barbara County has an estimated $200 million unfunded obligation for its employee retirement program; and the cities of Santa Barbara and Solvang have both been reported to be using reserves to pay current operating costs.
Commenting on federal debt, Terrence Jeffrey observed, "Thanks to the compounded negligence of four successive generations of politicians in Washington, D.C., however, every family in America is now on the hook for $455,000 over and above what they owe on their own mortgage, or student loans, or credit cards or can expect to pay in taxes under the current tax system." ("Your generous $455,000 loan to Uncle Sam," Conservative Chronicle, February 7, 2008).
The proposed 2008-09 federal budget of approximately $3 trillion amounts to around ten-thousand dollars for every man, woman and child in America, 300 million strong.  In addition to the annual budgets that presumably are funded with the money the federal government extracts from taxpayers, there is also the nation's little recognized obligation of some $9 trillion dollars that our esteemed political leaders have incurred without voters' consent.
David M. Walker, Controller General of the United States, has been speaking around the country for over two years, delivering the message that the U.S. is rapidly going bankrupt.  He believes we have only about 10 years before that happens.  But, even with the nation's chief accountant openly warning everyone who will listen, no one is paying attention. 
Mr. Walker is not some "Chicken Little" crying, "The sky is falling," he's the real deal, perhaps the most qualified person in America, telling it like it is.  As "the nation's chief accountability officer and head of the U.S. Government Accountability Office (GAO)," his mission is to help "… improve the performance and assure the accountability of the federal government for the benefit of the American people." (Wikipedia)
Everywhere we look throughout the nation, we see people, businesses and government entities that are upside down financially, seemingly with no way out other than bankruptcy.  But, so far, that doesn't seem to be slowing anyone down, individuals and politicians alike, in their race to the poorhouse.
What happens when we get there, you may wonder? 
It won't be pretty. 
© 2008 Harris R. Sherline, All Rights Reserved


http://www.articlesbase.com/economics-articles/neither-a-borrower-nor-a-lender-be-434704.html