Minggu, 04 November 2012

Kasus Minyak Tumpah Montara, Indonesia Dapat Dana CSR 5 Juta Dolar AS



Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan, tim negosiasi Indonesia dan kilang Montara milik PT TEP Australia menyepakati adanya dana bantuan tanggung jawab sosial (corporate social responbility/CSR) senilai lima juta dolar.
"Mereka sebelumnya mengajukan tiga juta dolar AS, tetapi dalam pertemuan ke-7 hari ini (11/3). Dana ini di luar tuntutan total klaim 2,4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp23 triliun ke mereka," katanya kepada pers di Jakarta, Jumat.
Dana bantuan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat korban pencemaran lingkungan di Nusa Tenggara Timur akibat ledakan kilang itu pada Agustus 2009. Menhub Freddy mengatakan, setelah pertemuan ini, kedua pihak akan menyusun draf Nota Kesepahaman dan diharapkan pada akhir Maret selesai disepakati kedua pihak dan awal April menandatanganinya.
"MoU itu akan memuat klausul lengkap terkait klaim ganti rugi yang kita ajukan. Waktu pembayaran dan sebagainya agar masalah pencemaran laut Timor ini tuntas dan tidak menjadi preseden buruk ke depan. Klaim diharapkan pembayarannya sudah bisa dimulai Juni," katanya.
Ditanya bagaimana seandainya Montara tidak mematuhi sesuai kesepakatan dalam MoU tersebut, Freddy menegaskan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah langkah hukum. "Apa langkahnya, nanti saja," katanya.
Menurut Freddy, kalau PT TEP menginginkan untuk pakai formula ganti rugi, pemerintah mempersilahkan hal tersebut apabila itu dianggap cepat menyelesaikan masalah. "Kita kan minta 15 tahun tapi kalau mereka minta cepat, misalnya 10 tahun, silahkan saja, yang penting jelas verifikasinya. Jadi bisa cepat putuskan ganti rugi secara menyeluruh berapa," katanya.
Data yang dihimpun menyebutkan, telah terjadi pencemaran, petani rumput laut di Rote Ndao dapat memproduksi 7.334 ton rumput luat kering per tahun. Pada 2009, atau setelah pencemaran terjadi, produksi turun hingga 1.512 ton. Bahkan, hingga Juni 2010, produksi rumput laut kering di Rote baru mencapai 341,4 ton.
Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, hasil perhitungan nilai potensi kerugian sosial ekonomi tersebut menjadi dasar kebijakan untuk tuntutan ganti rugi kepada pihak Australia. Hasil perhitungan kerugian tersebut terdiri dari potensi kerugian total (total lost value) yakni Rp247 miliar dan kerugian langsung (direct lost value) yang mencapai Rp42 miliar.
Kerugian total merupakan perhitungan berbagai aspek seperti biofisik, psikologi dan sosial ekonomi dari nelayan setempat, sedangkan kerugian langsung adalah penghitungan berdasarkan aspek riil yang seharusnya didapat oleh nelayan dari perairan tersebut.
.
Sumber : Republika – Jakarta, Jumat 11 Oktober 2011http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/11/168847-kasus-minyak-tumpah-montara-indonesia-dapat-dana-csr-5-juta-dolar-as

Program Corporate Social Responsibility yang Berkelanjutan



Pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dunia usaha berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut triple bottom line. Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
          Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor dunia usaha sebagai akibat liberalisasi ekonomi, berbagai kalangan swasta, organisasi masyarakat, dan dunia pendidikan berupaya merumuskan dan mempromosikan tanggung jawab sosial sektor usaha dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan.
          Namun saat ini – saat perubahan sedang melanda dunia – kalangan usaha juga tengah dihimpit oleh berbagai tekanan, mulai dari kepentingan untuk meningkatkan daya saing, tuntutan untuk menerapkan corporate governance, hingga masalah kepentingan stakeholder yang makin meningkat. Oleh karena itu, dunia usaha perlu mencari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusa haan yang mampu bersaing.
          Upaya tersebut secara umum dapat disebut sebagai corporate social responsibility atau corporate citizenship dan dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.
          Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan; serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
Implementasi konsep sustainable development dalam Program CSR
          Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (cost center). CSR memang tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Dengan demikian apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan perusahaan akan terjamin dengan baik. Oleh karena itu, program-program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.
          Dengan masuknya program CSR sebagai bagian dari strategi bisnis, maka akan dengan mudah bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu perusahaan untuk mengimplementasi kan rencana kegiatan dari program CSR yang dirancangnya. Dilihat dari sisi pertanggung jawaban keuangan atas setiap investasi yang dikeluarkan dari program CSR menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga pada akhirnya keberlanjutan yang diharapkan akan dapat terimplementasi berdasarkan harapan semua stakeholder.
Mengapa Program CSR harus Sustainable.
          Pada saat ini telah banyak perusahaan di Indonesia, khususnya perusahaan besar yang telah melakukan berbagai bentuk kegiatan CSR, apakah itu dalam bentuk community development, charity, atau kegiatan-kegiatan philanthropy. Timbul pertanyaan apakah yang menjadi perbandingan/perbedaan antara program community development, philanthropy, dan CSR  dan mana yang dapat menunjang berkelanjutan (sustainable)?
          Tidak mudah memang untuk memberikan jawaban yang tegas terhadap pertanyaan diatas, namun penulis beranggapan bahwa “CSR is the ultimate level towards sustainability of development”. Umumnya kegiatan-kegiatan community development, charity maupun philanthropy yang saat ini mulai berkembang di bumi. Indonesia masih merupakan kegiatan yang bersifat pengabdian kepada masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh dari lokasi tempat dunia usaha melakukan kegiatannya. Dan sering kali kegiatannya belum dikaitkan dengan tiga elemen yang menjadi kunci dari pembangunan berkelanjutan tersebut. Namun hal ini adalah langkah awal positif yang perlu dikembangkan dan diperluas hingga benar-benar dapat dijadikan kegiatan Corporate Social Responsibility yang benar-benar sustainable.
          Selain itu program CSR baru dapat menjadi berkelanjutan apabila, program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias dari karyawan akan menjadikan program-program tersebut bagaikan program penebusan dosa dari pemegang saham belaka. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program-program tersebut akan memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.
          Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain, yaitu: pengembangan bioenergi, melalui kegiatan penciptaan Desa Mandiri Energi yang merupakan cikal bakal dari pembentukan eco-village di masa mendatang bagi Indonesia.
          Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut.
          Program CSR tidak selalu merupakan promosi perusahaan yang terselubung, bila ada iklan atau kegiatan PR mengenai program CSR yang dilakukan satu perusahaan, itu merupakan himbauan kepada dunia usaha secara umum bahwa kegiatan tersebut merupakan keharusan/tanggung jawab bagi setiap pengusaha. Sehingga dapat memberikan pancingan kepada pengusaha lain untuk dapat berbuat hal yang sama bagi kepentingan masyarakat luas, agar pembangunan berkelanjutan dapat terealisasi dengan baik. Karena untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan mandiri semua dunia usaha harus secara bersama mendukung kegiatan yang terkait hal tersebut. Dimana pada akhirnya dunia usaha pun akan menikmati keberlanjutan dan kelangsungan usahanya dengan baik.
Manfaat dari program CSR bagi perusahaan di Indonesia
          Memang pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi suatu keharusan yang umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2008 mendatang akan diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.
          CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation) – konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung.
          Sekali lagi untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan program CSR, diperlukannya komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap program-program CSR. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa datang.
           Perusahaaan perlu bertanggung jawab bahwa di masa mendatang tetap ada manusia di muka bumi ini, sehingga dunia tetap harus menjadi manusiawi, untuk menjamin keberlangsungan kehidupan kini dan di hari esok.

Sumber : Majalah Lensa ETF, edisi 1 Nov 2006, Eka Tcipta Foundation

IFRS Sebagai Standar Tunggal Pelaporan Keuangan



International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar, interpretasi, dan kerangka yang diadopsi oleh badan penyusun standar akuntansi internasional yang dikenal dengan International Accounting Standards Board (IASB).
Beberapa standar yang membentuk IFRS dulunya dikenal dengan nama International Accounting Standards (IAS). IAS diterbitkan oleh suatu badan yang dikenal dengan International Accounting Standards Committee (IASC) pada kurun waktu antara tahun 1973-2001. Hingga Maret 2002, IASC telah menerbitkan 41 IAS dan 34 SIC (Standing Interpretations Committee) Interpretations. Beberapa di antaranya telah diubah atau diganti oleh IASB. Standar yang masih tersisa dipandang sebagai payung bagi IFRS.
Sepanjang tahun 1999-2000, IASC melakukan restrukturisasi (dengan mengubah konstitusi, strategi, struktur dan nama). IASC berkeinginan untuk menjadi badan akuntansi yang lebih independen dan profesional. Pada Maret 2001, IASC Trustees mengaktifkan Part B dari IASC Constitution yang baru dan menetapkan non-profit Delaware corporation yang diberi nama International Accounting Standards Committee Foundation untuk mengawasi IASB. Pada April 2001, IASB yang baru mengambil alih tanggung jawab IASC dalam menetapkan International Accounting Standards.
IASB berkeinginan untuk membentuk satu standar pelaporan keuangan global yang berkualitas. Selama pertemuan pertamanya, badan yang baru tersebut mengadopsi IAS dan SIC (Standing Interpretation Committee) yang ada. IASB terus mengembangkan standar yang disebut dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Jadi IFRS adalah termasuk standar dan interpretasi yang disetujui oleh IASB serta IAS dan SIC Interpretations yang diterbitkan berdasarkan konstitusi sebelumnya.
IFRS terdiri dari:
.International Financial Reporting Standards (IFRS) – standard yang diterbitkan setelah 2001
.International Accounting Standards (IAS) – standard yang diterbitkan sebelum 2001
.Interpretasi yang berasal dari the International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) – diterbitkan setelah 2001
.Standing Interpretations Committee (SIC) – diterbitkan sebelum 2001

Prinsip-prinsip yang mendasari IFRS dijelaskan dalam Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan)
IFRS merupakan kesepakatan global standar akuntansi yang didukung lebih dari 100 negara dan badan-badan internasional di dunia. Globalisasi aktivitas ekonomi mengharuskan informasi keuangan berkualitas tinggi dan dapat diperbandingkan secara internasional.
Efektif sejak 1 Januari 2005, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di 15 negara Uni Eropa diharuskan untuk menyajikan laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS (sejak tahun 2003, standar-standar yang baru disebut sebagai IFRS). Hal ini merupakan perubahan terbesar di Eropa dalam beberapa dekade terakhir ini yang mempengaruhi lebih dari 7.000 perusahaan di Uni Eropa yang akan menyusun laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS. Dibandingkan pada tahun 2001, hanya 275 perusahaan di Uni Eropa yang menggunakan IAS dalam penyusunan laporan keuangannya dan 300 perusahaan menggunakan US GAAP.
Sejak tahun 1994, profesi akuntansi di Indonesia, melalui Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), telah berkomitmen untuk melakukan harmonisasi terhadap IFRS. Sejak itu, sebagian besar PSAK yang diterbitkan didasarkan pada IFRS. Jadi, pada dasarnya IFRS telah mempengaruhi dunia usaha di Indonesia sejak 1994.
Pada akhir tahun 2008, IAI telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh pada tahun 2012. Selain itu, pada tahun 2009, negara-negara anggota G-20 telah membuat kesepakatan di Pittsburg, Amerika Serikat yang di antaranya menyatakan bahwa untuk mengurangi kesenjangan peraturan di antara negara-negara anggota G-20, maka otoritas yang mengawasi peraturan akuntansi internasional harus meningkatkan standar global pada Juni 2011. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota G-20 tunduk pada kesepakatan global untuk melakukan konvergensi IFRS.
Oleh karena itu, mulai tahun 2009, DSAK-IAI mencanangkan proses konvergensi sampai tahun 2011 dengan target pada tahun 2012, seluruh PSAK tidak memiliki beda material dengan IFRS yang berlaku per 1 Januari 2009. Dan setelah tahun 2012, DSAK-IAI akan terus memperbaharui PSAK jika ada perubahan pada IFRS yang terkait.
Principles Based
IFRS merupakan seperangkat standar yang “berdasarkan prinsip” (principles based) yang menetapkan aturan umum dan menentukan peraturan khusus. Sedangkan US GAAP merupakan standar yang “berdasarkan aturan” (rule based atau regulation based). IFRS menitikberatkan pada prinsip yang dijelaskan dalam kerangka konseptual IASB, bukan pada aturan yang terinci. Berbeda dengan US GAAP, yang pada umumnya memuat persyaratan-persyaratan lebih khusus dan pedoman impelementasi yang rinci.
Pendekatan IASB yang memfokuskan pada prinsip tersebut mengharuskan perusahaan dan auditor untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk kepentingan publik. Perusahaan harus menyajikan laporan keuangan yang menyajikan dengan sebenarnya (faithful representation) seluruh transaksi yang terjadi. Auditor juga harus resisten terhadap tekanan klien.
Pelaporan keuangan yang didasarkan pada US GAAP, sebagian besar juga didasarkan pada prinsip, namun disertai dengan aturan dan regulasi yang rinci. Oleh karena itu, US GAAP disebut sebagai standar yang “berdasarkan aturan” (rule based). US GAAP menetapkan persyaratan-persyaratan yang lebih khusus dan memberikan pedoman implementasi yang lebih rinci. Pedoman rinci ini menguntungkan perusahaan, auditor, dan regulator pasar modal. Bagi perusahaan, pedoman rinci akan mengurangi ketidakpastian dalam memperlakukan suatu transaksi. Bagi auditor, persyaratan-persyaratan khusus akan membatasi perselisihan dengan klien dan merupakan pembelaan jika terjadi proses pengadilan. Regulator menggunakan pedoman rinci sebagai alat untuk menegakkan peraturan.
Karena fokus pada prinsip ini, maka pihak-pihak yang meyakini keunggulan US GAAP berpendapat bahwa penerapan IFRS memerlukan terlalu banyak interpretasi. Sebaliknya, pendukung IFRS berpendapat bahwa banyaknya pedoman yang dikeluarkan FASB juga tidak mampu mencegah Enron dalam menghindari aturan akuntansi. Enron adalah perusahaan yang mendirikan entitas bertujuan khusus (special purpose entity) yang tidak dikonsolidasikan dalam laporan keuangan (Enron menggunakan US GAAP). Kegagalan untuk mengkonsolidasikan entitas tersebut diyakini sebagai isu terpenting dalam penyajian kembali laporan keuangan Enron.
Standar akuntansi yang berkualitas sangat diperlukan untuk membantu pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber dayanya. Alokasi sumber daya sangat tergantung pada informasi keuangan yang mempunyai kredibilitas tinggi dan dapat dipahami. Standar akuntansi harus mampu menyakinkan investor bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan menunjukkan gambaran kinerja dan posisi perusahaan yang sebenarnya. Skandal Enron mengindikasikan perlunya reformasi sistem pelaporan keuangan secara global.
Adopsi IAS atau IFRS tersebut tentunya akan berdampak pada pelaporan keuangan khususnya berkaitan dengan pengakuan dan pengukuran, serta berkaitan dengan konsolidasi dan pelaporan. Salah satu perubahan pengakuan dan pengukuran yang utama adalah semakin luasnya penggunaan prinsip nilai wajar (fair value) dibandingkan dengan biaya historis. Nilai wajar adalah harga yang akan diterima atas penjualan suatu aset atau harga yang akan dibayar atas pengalihan liabilitas (kewajiban) dalam suatu transaksi antar partisipan pasar pada saat tanggal pengukuran. Jadi, konsep nilai wajar menitikberatkan pada arus kas kini dan arus kas yang diekspektasikan. Konsep nilai wajar tidak menekankan pada harga beli historis. Misalnya, amortisasi goodwill dievaluasi setiap periode berdasarkan arus kas yang didiskontokan (discounted cash flows).
Adopsi IFRS akan berdampak pada perubahan pelaporan keuangan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia akan mengubah format laporan keuangannya, dan investor akan melihat perubahan tersebut. Demikian juga dengan merger dan akuisisi, kebijakan pajak, dan perencanaan keuangan juga akan terpengaruh.
Dengan tambahan margin penjualan listrik subsidi dari lima persen menjadi delapan persen, laba bersih PT PLN tahun 2010 bisa melesat jauh melampaui tahun 2009. Namun meningkatnya beban bunga, berkurangnya untung dari selisih kurs, serta beban lain-lain menyebabkan laba bersih PLN tergerus hingga 2,5%. Jika tahun 2009 laba bersih yang dibukukan sebesar Rp 10,355 triliun, laba tahun 2010 mentok di angka 10,086 triliun.
Toh situasi tersebut, ditambah iklim kerja yang berkembang makin baik, telah memacu seluruh jajaran PLN untuk bekerja makin keras dan profesional. Maka wajar saja jika kemudian Dahlan Iskan memanfaatkan momentum itu untuk mengubah tagline PT PLN. Semula tagline yang sudah dipakai bertahun-tahun adalah Electricity for a Better life, Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Dahlan menggantinya dengan semboyan baru Bekerja Bekerja Bekerja!
Slogan yang digagas Dahlan tersebut mampu meneguhkan fokus pada orientasi perusahaan, bahwa tugas utama sebagai korporasi adalah bekerja untuk melayani.
Di tengah semangat tinggi seluruh jajaran PLN untuk unjuk kerja itulah Dahlan Iskan harus pergi. Maka ketika para calon menteri menebar senyum setelah dipanggil Presiden, Pak Dis ?begitu ia suka dipanggil, akronim dari Dahlan Iskan- justru menangis. “Saya menangis karena harus meninggalkan teman-teman di PLN yang sedang semangat-semangatnya bekerja,” ucapnya.
Harapan Presiden, juga publik dan stakeholders BUMN, agar semangat serupa bisa ditularkan kepada BUMN yang lain. Dahlan tidak mengusung slogan dan konsep besar yang hanya menarik di meja diskusi. Dia mengajak semua orang untuk menyederhanakan persoalan dan bekerja untuk mengatasinya.

Sumber : http://www.bumn.go.id/ptpn5/galeri/ifrs-sebagi-standar-tunggal-pelaporan-keuangan/

Kejahatan Perbankan Terjadi Karena GCG Lemah



Bank Indonesia (BI) menilai kasus kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia karena lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG) di bank tersebut.

Hal ini ditunjukkan dengan lemahnya pengawasan internal bank dan pengawasan dari manajemen tertinggi (top management) bank.

"Kasus opersional yang terjadi di indonesia, dari pemeriksaan BI, kelemahannya adalah top management dalam melakukan review secaraa berkala terhadap kebijakan SOP dan pengendalian internal," ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah dalam seminar "Good Coorporate Governance di Perbankan," di Ballroom Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (23/6).

Ditambahkan oleh Halim, kurang optimalnya pengawasan ini dibarengi adanya kelemahan implementasi kebijakan sistem dan prosedur serta Sumber Daya Manusia yang kurang menjalankan prinsip Know Your Employee. Menyangkut pengendalian internal, meskipun sistem aktif sudah berjalann tapi pelaksanaan hal-hal mendasar belum dilakukan secara reguler.

"Juga pejabat bank dapat memodifikasi data nasabah tanpa diketahui oleh nasabah atau pimpinan bank sehingga terjadi penarikan tanpa diketahui," jelas Halim.

Apalagi banyak bank yang menganggap GCG lebih sebagai biaya dan menghambat ekspansi usahanya. Padahal penerapan GCG yang terdiri dari lima unsur, yakni: Integritas, akuntanbilitas, independensi, kewajaran dan tanggungjawab ini sangat mutlak diperlukan, terutama oleh perbankan yang mrp bisnis berbasis kepercayaan masyarakat.

"Tanpa itu industri bank tidak dapat berjalan dengan sehat," tuturnya.

Halim mencontohkan kasus fraud yang terjadi di Indonesia mirip dengan kasus fraud terkenal seperti Barings Bank di Singapura. Kasus Barings Bank itu terjadi karena tidak adanya pembagian tanggung jawab yang merata lemahnya pengawasan internal dan kurangnya pengawasan top manajemen.

"Kalau mengikuti kasus yang terjadi di Singapura, kasus tersebut juga terjadi di Indonesia. Di Indonesia sedikit banyak yang terjadi adalah belum dilakukannya pelaksanaannya SOP dan pengawasan internal secara baik," ujar Halim.

Atas kasus kejahatan perbankan yang akhir-akhir ini terjadi, Halim mengungkapkan BI akan terus bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mempertinggi pelaksanaan GCG. Di samping langkah penyemperunaan, kasus yang terjadi juga merupakan suatu kesempatan bagi BI untuk melakukan introspeksi.

"Akan semakin kami tingkatkan ke arah yang lebih berbasis risiko, kepatuhan, fungsional, terutama pada risko operasioanl kegiatan yang berisiko tinggi," ujarnya.

Selain itu, BI sedang meninjau kembali aturan kepemilikan bank. Pasalnya, BI menilai kepemilikan bank ini berpengaruh pada prinsip-prinsip prudential.

"Kami mendorong bank untuk go public. Sehingga menerapkan GCG yang baik memiliki alasan dan kekuatan yang berkesinambungan," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Indonesia (Perbanas) Sigit Pramono mengungkapkan kasus kejahatan perbankan terjadi karena keterlibatan orang dalam, untuk itu GCG harus diperhatikan.

"Yang harus kita waspadai bahwa di dalam kejahatan perbankan, sindikat begitu tekun membina orang dari dalam bank. Dua tiga tahun mereka bina. Tiga tahun baru minta pertolongan," ujarnya.

Selain itu, sindikat sangat pandai memainkan sisi psikologis yang melibatkan orang dalam.

Seperti diketahui, kejahatan perbankan yang baru-baru saja terjadi di Citibank dan Bank Mega terjadi karena terlalu besarnya kewenangan yang dilakukan oleh seorang pejabat bank, seperti yang dilakukan Relationship Manager Citibank dan Kepala Cabang Bank Mega di Jababeka. Mereka menjadi dalang pembobolan dana nasabahnya hingga ratusan miliar.

Karena itu, peran BI sebagai pengawas perbankan sangat penting. Juga kalangan perbankan khususnya top management harus memperbaiki implementasi dari GCG. Ia menekankan pentingnya integritas dalam penerapan GCG ini untuk mengantisipasi fraud yang melibatkan orang dalam bank. Ia menekankan adanya pengawasan ketat(waskat) dari top management untuk mengantisipasi terjadinya fraud ini.

"Tidak mungkin zero fraud. Yang bisa kita lakukan adalah mitigasi sehingga fraud berkurang dengan waskat, pengawasan melekat," tukasnya.
(*/OL-3)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/22/236319/20/2/-Kejahatan-Perbankan-Terjadi-karena-GCG-Lemah

Pengertian Good Coorporate Governance



Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadbury, misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report – mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadbury, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, Manajer, Pemagang Saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.

Centre for European Policy Studies (CEPS), punya foormula lain. GCG papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholder, bukan terbatas kepada shareholder saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholder secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholder menerima informasi yang diperlukan seputar kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaaan istilah. Kelompk negara maju (OECD), misalnya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggungjawab kepada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder lainnya. Karena itu fokus utama disini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu accountability, transparency, predictability dan participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut, GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang, tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definsi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai ‘pengaturan’. Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut ‘tata pamong’ atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dalam terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia yang benar.
Kemudian, GCG ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance atau GCG merupakan :
Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan Komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan para stakeholder lainnya.
Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengandalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
Suatu prose yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Sumber : Mas Achmad Daniri sebagaimana dikutip oleh Wilson Arafat.
http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1194:pengertian-good-corporate-governance-gcg&catid=68:good-corporate-governance&Itemid=101